Senin, 15 November 2010

Makalah Ulumul Hadits

PENDAHULUAN

Rawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perowi haruslah memiliki sifat sifat khusus misalnya: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli bid’ah.
ulama-ulama ahli hadits yang sangat jenius dan istiqomah pada masing-masing zaman, mulai dari zaman sahabat hingga zaman mudawwin mereka mencatat rawi rawi tersebut termasuk kapan lahir dan wafatnya, serta sifat sifatnya. Tidak ada perowi yang tidak tercatat dalam kitab-kitab mereka, sehingga perawi yang tidak ada dalam catatan mereka disebut perawi yang majhul, yang akan di dhaifkan kalau meriwayatkan hadits. Perawi-perawi tersebut hendaklah dikenal setidaknya oleh 2 ahli hadits pada zamannya
Mattan suatu hadits menjadi bahan penilaian juga dalam menentukan derajat hadits yang terlihat dalam siyaqul kalam (hadits) Mengandung kata-kata serampangan, rusak maknanya, buruk maksudnya dan berisi sesuatu yang hina, bertentangan dengan secara tegas dengan hadits-hadits lain yang telah jelas keshahihannya, isi hadits menunjukan kebohongan hadits itu sendiri, materi pembicaraannya sama sekali tidak menyerupai ucapan para Nabi, terlebih lagi ucapan Nabi, matan hadits lebih menyerupai ucapan para dokter atau ahli penyakit tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Tranformasi Hadits
Telah dikemukakan fakta yang menunjukkan bahwa seluruh problem menyangkut hadits Nabi terletak pada pertanyaan sentral tentang status Sunnah atau Hadits Nabi yang selama dia valid merupakan sumber utama kedua hukum Islam, dan bahwa kehidupan Nabi merupakan model yang patut diikuti oleh kaum Muslim tanpa batasan waktu dan tempat. Karena alasan ini, para sahabat, bahkan selagi Nabi hidup, mulai menyebarkan pengetahuan Sunnah, dan mereka memang diperintahkan Rasul untuk berbuat demikian. Namun ini tidak berarti bahwa pintu terbuka lebar-lebar bagi siapa saja untuk meriwayatkan hadits sekalipun ia yakin tak membuat kesalahan. Nabi memperingatkan orang dengan berkata, “Jika seseorang berbohong tentang aku dengan sengaja, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di neraka jahanam”. Dalam hadits lain, beliau bersabda ; “Jika seseorang secara sengaja memisahkan kepadaku apa yang tidak aku katakan, hendaknya ia yakin bahwa tempatnya di neraka jahanam”.
Kritik hadis, dengan maksud menelusuri otentisitas hadis Nabi, dengan mengartikulasi hadis yang sah dan tidak, mempunyai nilai yang sangat urgen dan dibutuhkan terutama karena, pada realitanya, tidak semua hadis secara otentik berasal dari Nabi, terdapat hadis-hadis palsu (mawdlu’yang dinisbahkan kepada Nabi.


Para ahli hadits telah membahas syarat-syarat sahnya seorang rawi menerima dan menyampaikan riwayat hadits. Dalam hal ini, dibedakan antara syarat-syarat rawi hadist ketika menerima dan ketika menyampaikan riwayat hadits. Ulama pada umumnya berpendapat bahwa orang-orang kafir dan anak-anak kecil dinyatakan sah menerima hadits tetapi untuk kegiatan penyampaian hadits, riwayat mereka tidak sah. Ulama ahli hadits berbeda pendapat menilai mengenai kapan disunahkan nya mendengar hadits . sebagian ulama mengatakan bahwa disunahkan mendengarkan hadits mulai umur 20 tahun. Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah bahwa mendengar hadits tidak disyaratkan usia.saat seseorang telah mampu mendengar dan pandai menulis , maka saat itu juga disunahkan mendengarkan hadits. Bahkan menurut Al Qadli ‘Iyadl anak berumur 15 tahun pun telah sah mendengar hadits.
B. Syarat syarat Seorang Perawi
Rawi adalah periwayat hadits sedangkan sanad atau isnad adalah kumpulan dari rawi yang membentuk titian, jembatan, jalan atau sandaran sehingga hadits tersebut sampai kepada kita.
Ulama mudawwin semacam Bukhori, muslim, Nasai dsb akan mengatakan dalam haditsnya ” Hadits ini disampaikan kepada saya melalui sesorang, misalnya si A, kemudian si A berkata hadits ini disampaikan kepada saya oleh si C dan seterusnya sampai misalnya si H, kemudian si H mengatakan bahwa dia mendengar Rosulullah SAW berkata.......tentang hadits tersebut”.
Rawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih tidaknya suatu hadits sehingga perowi haruslah memiliki sifat2 khusus semisal: Bukan pendusta, Tidak banyak salahnya, Tidak kurang ketelitiannya, Bukan fasiq, Bukan orang yg banyak keraguan, Bukan ahli bid’ah
Syarat-syarat yang harus terpenuhi seseorang ketika menyampaikan riwayat hadits sehingga periwatannya dinyatakan sah ialah orang itu harus :

(1) Beragama Islam
(2) Baligh
(3) Berakal
(4) Tidak fasiq
(5) Tidak terdapat tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkan kehormatan (muru’ah).
(6) Mampu menyampaikan hadits yang telah dihafalnya.
(7) Sekiranya dia memiliki catatan hadits, maka catatan itu dapat dipercaya.
(8) Mengetahui dengan baik apa yang merusakkan maksud hadits yang diriwayatkannya secara makna.

C. Cara Menerima dan Menyampaikan Hadits
Yang dimaksud dengan jalan menerima hadits ( thuruq at tahammul) adalah cara menerima hadits dengan mengambil dari syaikh dan yg dimaksud dengan bentuk penyampaian (sighatul ada) adalah lafadh lafadh yang di gunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikan kepada muridnya misalnya dengan kata sami’tu ( سَمِعْتُ) “ aku telah mendengar “ haddatsani ( حَدَّثَنِي) “telah bercerita kepadaku” dan yg semisal dengan nya. Dalam menerima hadits tidak disyaratkan harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar , namun ketika menyampaikannya disyaratkan harus islam dan baligh. Sebagian ulama memmberikan batasan minimal umur lima tahun namun yangbenar adalah cukup batasa tamyiz atau dapat membedakan antara yang yang haq dan yang batil. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan pendengaran yang benar itulah tamyiz jika tidak haditsnya ditolak.

Jalan untuk Menerima dan Menyampaikan Hadits ada delapan
1. As sama’/mendengar lafadh2 dari guru/syaikh
Contohnya: seorang guru membaca dan murid mendengarkan, baik guru membaca dari hafalan/tulisannya
2. Al Qira’ah/membaca kepada syaikh
Contohnya: seorang perowi membaca hadits kepada syaikh dan syaikh mendengarkan bacaannya dan meneliti, baik perowi yang membac atau orang lain yang membaca sedangkan syaikh mendengarkan, baik bacaan dari hafalan atau dari buku
3. Al Ijazah
Seorang syaikh mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Contohnya : seorang syaikh mengatakan sesuatu kepada salah satu muridnya Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.
4. Al Munawalah / menyerahkan
Al Munawalah di bagi menjadi dua yaitu
a). Al munawalah yang disertai ijazah yaitu tingkatanya paling tinggi diantara macam macam ijazah secara mutlak contohnya : seorang syaikh memberikan kitabnya kepada muridnya. Lalu mengatakan “ini riwayatku, maka riwayatkalah diriku” kemudian kitab itu dibiarkna dimiliki atau dipinjanm atau disalin.

b). Al Munawalah yang tidak diiringi ijazah yaitu seorang syaikh memberikan kitabnya kepada muridnya dengan hanya mengatakan “ ini adalah riwayatku” hal yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
5. Al Kitabah
Yaitu seorang syaikh menulis sendiri atau orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya. Al kitabah dibagi menjadi dua yaitu :
a). Al kitabah yang disertai Ijazah yaitu perkataan sayakh “ aku ijazahkan kepada kamu apa yang aku tulis untukmu “ dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang disertai aijazah .
b). Al Kitabah yang tidak disertai Ijazah yaitu syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya.

6. Al I’lam ( memberitahu)
Yaitu seorang syaikh memberitahu muridnya bahwa hadits ini, kitab ini adalah riwayatnya dari fulan dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya.
7. Al Washiyyah ( mewasiati)
Yaitu seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.

8. Al Wijadah (mendapat)
Yaitu seorang perawi mendapata hadits atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan dia mengenal syaikh itu, sedang hadits haditsnya tidak pernah didengarakan ataupun ditulis si perawi. Al wijadah ini termasuk hadits munqhati’ karena siperawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya .




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rawi adalah periwayat hadits sedangkan sanad atau isnad adalah kumpulan dari rawi yang membentuk titian, jembatan, jalan atau sandaran sehingga hadits tersebut sampai kepada kita.
Dalam ilmu hadits istilah yang digunakan oleh Ulama Ahli Hadits tentang proses penerimaan dan periwayatan hadits ialah tahammul al-hadits (Mengambil dan menyampaikan hadist).
Pada umumnya, ulama ahli hadits membagi tata cara penerimaan riwayat hadits ke dalam delapan macam
1) Al-Sama’ min lajzh al-syaikh (mendengar dari ucapan guru).
2) Al-Qira’ah ‘ala al-syeikh (membaca di hadapan guru)
3) Al-Ijazah (izin)
4) Al-Munawalah (pemberian)
5) Al-Kitabah (tulisan)
6) AL’I’lam (pemberitahuan)
7) Al-Washiyah (pesan)
8) Al-Wijadah

Minggu, 07 November 2010

Makalah I'Jaz Al Qur'an

IJAZ AL-QUR'AN
Ijaz (Kemukjizatan) Al-Qur’an
Kata mukjizat berasal dari kata ‘ajaz (lemah).I’jaz dapat diartikan mukjizat, hal yang melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain tak berdaya. I’jazul Qur’an adalah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki Al-Qur’an yang menetapkan kelemahan manusia, baik secara terpisah maupun berkelompok-kelompok, untuk bisa mendatangkan minimal yang menyamainya. Kadar kemukjizatan Al-Qur’an itu meliputi tiga aspek, yaitu : aspek bahasa (sastra, badi’, balagah/ kefasihan), aspek ilmiah (science, knowledge, ketepatan ramalan) dan aspek tasyri’ (penetapan hukum syariat).
Muhammad Ali Ash Shabumi dalam kitab At-Tibyan menyebutkan segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an sebagai berikut :
1. Susunan kalimatnya indah.
2. Terdapat uslub (cita rasa bahasa) yang unik, berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab.
3. Menantang semua mahkluk untuk membuat satu ayat saja yang bisa menyamai Al-Qur’an, tapi tantangan itu tidak pernah bisa dipenuhi sampai sekarang ini.
4. Bentuk perundang-undangan yang memuat prinsip dasar dan sebagian memuat detail rinci yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia melebihi setiap undang-undang ciptaan manusia.
5. Menerangkan hal-hal ghaib yang tidak diketahui bila mengandalkan akal semata-mata.
6. Tidak bertentangan dengan pengetahuan ilmiah (ilmu pasti, science).
7. Tepat terbukti semua janji (ramalan) yang dikhabarkan dalam Al-Qur’an.
8. Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan ilmiah didalamnya.
9. Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuhnya

1. Pengertian
Kata I’jaz adalah masdar dari kata ‘ajz artinya lemah. Adapun maksud dari I’jaz adalah menampakkan kebenaran Nabi Mughammad SAW dalam tugas kerasulannya dengan menampakkan kelemahan masyarakat Arab dan generasi-generasi berikutnya untuk menentangnya.
Al-Qur’an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menantang orang-orang pada masa beliau dan generasi sesudahnya yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah dan tidak percaya akan risalah Nabi SAW ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka sungguh pun mereka memiliki tingkat fashahah dan balaghah sedemikian tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi mereka minta untuk menandingi Al-Qur’an dalam tiga tahapan :
1. Mendatangkan semisal Al-Qur’an secara keseluruhan. Sebagaimana di jelaskan pada surat Al-Isra’ ayat 88 :
“Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”
2. Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat ada dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam surat Hud ayat 13 :
“Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an.” Katakanlah, kalau demikian, maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang di buat-buat menyamainya, dan pangillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”
3. Mendatangkan satu surat saja yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an, sebagaiman dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 23 :
“Dan jika tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami {Muhammad}, buatlah satu surat saja semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”
2. Macam-macam I’jaz (Mukjizat)
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis dan dapat dibuktikan sepanjang masa.mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat mereka merisalahkannya.
Perahu Nabi Nuh yang dibuat dia atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang sedemikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim a.s. dalam kobaran api yang sangat besar, berubah wujudnya tongkat Nabi Musa a.s. menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. atas izin Allah, dan lain-lain. Kesemuanya itu bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat mereka berada, dan berakhir dengan wafatnya mereka. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sifat indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dapat dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya di mana dan kapan pun.
3. Segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an
a. Gaya Bahasa
Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang Arab pada saat itu kagum dan terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak diantara mereka masuk islam. Bahkan, Umar bin Abu Thalib pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, memutuskan untuk masuk islam dan beriman pada kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al-Qur’an. Susunan Al-Qur’an tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apapun.
b. Susunan Kalimat
Kendati pun Al-Qur’an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut nabi, tetapi uslub atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur’an jauh lebih tinggi kualitasnya bila di bandingkan dengan lainnya. Al-Qur’an muncul dengan uslub yang begitu indah.di dalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akan pernah ada ucapan manusia.
Dalam Al-Qur’an, misalnya banyak ayat yang mengandung tasybih yang disusun kedalam bentuk yang sangat indah lagi mempesona, jauh lebih indah dari apa yang dibuat oleh para penyair atau sastrawan. Dapat dilihat dari satu contoh dalam surat Al-Qariah ayat 5, Allah berfirman :
“Dan gunung-gunung seperti bulu yang di hambur-hamburkan”
c. Hukum Illahi yang sempurna
Al-Qur’an menjelaskan pokok-pokok akidah, norma-norma keutamaan, sopan santun, undang-undang ekonomi, politik, social dan kemasyarakatan,serta hukum-hukum ibadah. Apabila memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah amaliyah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah badaniyah, seperti berjuang di jalan Allah.
Al-Qur’an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hokum, yakni: secara global (perinciannya diserahkan kepada Mujtahid) dan secara terperinci (berkaiatan dengan dengan utang piutang, makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan)
d. Ketelitian Redaksinya
Ketelitian redaksi bergantung pada hal berikut :
1. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya, beberapa contoh diantaranya :
a. Al-Hayah (hidup) dan Al-Maut (mati), masing-masing sebanyak 145 kali
b. An-Naf (manfaat) dan Al-Madharah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali
c. Al-Har (panas) dan Al-Bard (dingin) sebanyak 4 kali
d. As-Shalihat (kebajikan) danAs-Syyiat (keburukan) sebanyak masing-masing 167 kali
e. Ath-thuma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan Adh-dhiq (kesempitan/kekesalan) sebanyak masing-msing 13 kali
2. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya
a. Al-harts dan Az-zira’ah (membajak/bertani) masing-masing 14 kali
b. Al-‘ushb dan Adh-dhurur (membanggakan diri/angkuh) masing-masing 27 kali
c. Adh-dhaulun dan Al-mawta (orang sesat/mati jiwanya) masing-masing 17 kali
5. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya
a. Al-infaq (infaq) dengan Ar-ridha (kerelaan) masing-masing 73 kali
b. Al-bukhl (kekikiran) dengan Al-hasarah (penyesalan) masing-masing 12 kali
c. Al-kafirun(orang- orang kafir) dengan An-nar/Al-ihraq (neraka/pembakaran) masing-masing 154 kali
6. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya
a. Al-israf (pemborosan dengan As-sur’ah (ketergesaan) masing-masing 23 kali
b. Al-maw’izhah (nasihat/petuah) dengan Al-lisan (lidah) masing-masing 25 kali
c. Al-asra (tawanan) dengan Al-harb (perang) masing-masing 6 kali
7. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, di temukan juga keseimbangan khusus
a. Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari dalam bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), berjumlah tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
b. Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra ayat 44, surat Al-Mu’minun ayat 86, surat Fushilat ayat 12, surat Ath-thalaq 12, surat Al- Mulk ayat 3, surat Nuh ayat 15, selain itu, penjelasan tentang terciptanta langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
c. Kata-kata yang menunjukkan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir (pembawa berita gembira) atau (nadzir pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 5189 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut yakni 518.
e. Berita tentang hal-hal yang gaib
Sebagaian ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur’an itu adalah berita-berita gaib. Firaun yang mengejar-ngejar Nabi Musa, diceritakan dalam surat Yunus ayat 92 :
“Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang dating sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami”
Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan firaun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut karena telah terjadi sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19 tepatnya.
f. Isyarat-isyarat ilmiah
Banyak sekali isyarat ilmiah yang di temukan dalam Al-Qur’an, misalnya :
a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Sebagaiman yang dijelaskan dalam firman Allah surat Yunus: 5
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah {tempat-tempat} bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan {waktu}. Allah tidak menciptakan yang demikian itu, melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda {kebesaran-Nya} kepada orang-orang yang mengetahui}”
b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan napas.Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 25
c. Perbedaan sidik jari manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 4
d. Aroma atau bau manusia berbeda-beda. Al-Qur’an surat Yusuf ayat 94
e. Masa penyusunan yang tepat dan masa kehamilan minimal, Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233
f. Adanya nurani {superego} dan bawah sadar manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 14
g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Al-Qur’an surat An-nisa ayat 56:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka kedalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”

Makalah Qashas Al Qur'an

QASHASH AL – QUR’AN

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang terbesar. Al-Qur’an juga merupakan kitab suci agama Islam dan merupakan petunjuk serta pedoman hidup manusia. Semua hal telah ada dalam Al-Qur’an.

Dalam Al-Qur’an banyak dijelaskan berbagai kisah, yaitu seperti kisah-kisah masa lampau, seperti kisah para nabi beserta umat-umatnya dan juga kisah-kisah masa kini maupun masa yang akan datang. Kisah dalam Al-Qur’an bukan hanya digunakan sekedar sebagai pencerita saja, tetapi di balik itu semua ada hikmah yang bisa kita ambil dan kita renungi, dan bisa juga kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Aturan-aturan, hukum dan kisah-kisah tersebut serta semuanya terdapat dalam Al-Qur’an. Kita tidak perlu meragukan Al-Qur’an, karena sudah pasti bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk dan kitab yang paling sempurna.


1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan kisah (Qashash)?

2. Apa saja macam-macam kisah (Qashash)?

3. Apa tujuan dari kisah (Qashash) Al-Qur’an?

4. Apa saja hikmah dari kisah (Qashash) Al-Qur’an?

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KISAH

Lafal “kisah” berasal dari bahasa Arab qishshat jamaknya qishash yang berarti “Hikayat (dalam bentuk) prosa yang panjang”. Kisah searti dengan tatabbu’ul atsar yaitu pengulangan kembali hal masa lalu. Atau berasal dari kata al-qassu yang berarti mencari atau mengikuti jejak. Sedangkan menurut istilah qashas al-Quran adalah pemberitaan Quran tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Selain itu menurut Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. qashashil Quran ialah kisah-kisah dalam al-Quran yang menceritakan hal ikhwal umat-umat dahulu dan Nabi-Nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Masa kini dan masa yang akan datang.

Kisah al-Quran tentang orang terdahulu adalah suatu kisah yang benar dan periwatannya mengenai peristiwa-peristiwa itu adalah betul dan jujur. Ini karena Allah lah yang menceritakan kisah itu dan Allah benar-benar menyaksikan peristiwa-peristiwa itu, dan Ia telah menakdirkannya .


2.2 MACAM-MACAM KISAH (QASHASH)

Kisah dalam al-Qu’ran dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Dari segi waktu

a) Kisah pada masa lampau

• Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhan mengenai penciptaan khalifah di bumi.

• Kisah tentang penciptaan alam semesta .

• Kisah tentang penciptaan nabi Adam dan kehidupannya ketika di surga.

b) Kisah pada masa kini

• Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam lailatul qadar.
• Kisah tentang kehidupan makhluk gaib seperti satan, jin, atau iblis seperti diungkapkan dalam al-Qu’ran surat al-Araf ayat 13-14.

c) Kisah pada masa yang akan datang[7]

• Kisah tentang akan datangnya hari kiamat .
• Kisah tentang Abu Lahab di akhirat .
• Kisah tantang kehidupan orang-orang di surga dan orang-orang yang hidup di dalam neraka .


2. Dari segi materi

a) Kisah-kisah para Nabi, seperti kisah Nabi Adam As., Nabi Musa As., Nabi Daud As., Nabi Yusuf As., Nabi Isa As., Nabi Muhammad SAW dan Nabi-nabi yang lain.

b) Kisah tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau yang tidak dapat dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah tentang Luqman, kisah tentang Dzul Qarnain, kisah tentang Bangsa Romawi dan kisah-kisah lainnya.

c) Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW. Contohnya adalah kisah tentang Ababil, kisah tentang Hijrahnya Nabi SAW, dan kisah-kisah lainnya.


2.3 TUJUAN KISAH (QASHASH)

Tujuan Qashash sendiri antara lain sebagai berikut :
1. Untuk menetapkan bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menerima wahyu dari Allah SWT dan bukan dari orang-orang ahli kitab seperti Yahudi dan Nashrni.

2. Kisah-kisah dalam al-Qur’an mempunyai tujuan untuk pelajaran bagi umat manusia.

3. Membuat jiwa Rasul Allah tenteram dan tegar dalam berdakwah.

4. Untuk mengkritik para Ahli Kitab terhadap keterangan-keterangan yang mereka sembunyikan tentang kebenaran Nabi Muhammad SAW dengan mengubah isi kitab mereka.

5. Mengabadikan usaha-usaha para Nabi dan peringatan bahwa para Nabi yang terdahulu adalah benar.

6. Menanamkan akhlakul karimah dan budi pekerti yang mulia.

2.4 HIKMAH KISAH (QASHASH)

Hikmah kisah dalam al-Qur’an antara lain .

1. Menjelaskan dasar-dasar dakwah menuju agama Allah dan menerangkan pokok-pokok Syari’at yang di sampaikan oleh para nabi.

2. Mengokohkan hati Rasul dan hati umat Muhammad atas agama Allah dan memperkuat kepercayaan kaum mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pembelanya dan kalah kebatilan.

3. Membenarkan nabi-nabi terdahulu, serta mengabadikan usaha-usaha para nabi dan jejak-jejak peninggalannya.

4. Menetapkan risalah Nabi Muhammad SAW, sebab berita-berita tentang umat-umat terdahulu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT

5. Menyibak kebohongan ahlul kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan.

6. Menarik perhatian para mendengar

7. Penjelasan mengenai hikmah Allah SWT dalam kandungan kisah-kisah tersebut, sebagaimana firman-Nya,

8. Penjelasan keadilan Allah SWT melalui hukuman-Nya terhadap orang-orang yang mendustakan-Nya

9. Hiburan bagi Nabi SAW atas sikap yang dilakukan orang-orang yang mendustakannya terhadapnya.


10. Sugesti bagi kaum Mukminin

11. Peringatan kepada orang-orang kafir akan akibat terus menerusnya mereka dalam kekufuran.

Makalah Amtsal Al Qur'an

Amtsal Al-qur’an
ILMU AMTASLIL QUR’AN
A. Pengertian Amtaslil Qur’an
Menurut bahasa, kata amtsal berupa bentuk jamak dari lafal matsal. Sedang kata matsal, mitsil dan matsil adalah sama dengan kata syabah, syibih dan saybih, baik dalam lafal maupun dalam maknanya.
Menurut bahasa, arti lafal amtsal ada tiga macam:
a.
بِمَعْنَى الْمِثْلِ وَ الشِّبْهِ وَ النَّظِيْرِ

Bisa berarti perumpamaan, gambaran atau peserupaan atau dalam bahasa Arabnya:
b.
َويُطْلَقُ الْمَثَلُ عَلىَ الْقِصَّةِ اِنْ َكَانَ لهَاَ شَأْنٌ وَ غَرَابَةُ

Bisa diartikan kisah atau cerita, jika keadaannya amat asing dan aneh:
c. Bisa juga berarti sifat, atau keadaan, atau tingkah laku yang mengherankan pula. Seperti dalam ayat 15 surat Muhammad:
“Artinya: Apakah perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamr (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring”
Ayat tersebut bisa diartikan perumpamaan surga, atau gambaran, sifat, atau keadaan surga yang sangat mengherankan.
a. Ulama Ahli ilmu adab menendefinisikan
Menurut istilah (terminologi), para ulama memberikan beberapa macam definisi Amtaslil Qur’an, antara lain:
Artinya: “amtsal (perumpamaan) dalam ilmu adab ialah ucapan yang banyak disebutkan yang telah biasa dikatakan orang yang dimaksudkan untuk menyamakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan keadaan sesuatu yang akan dituju”.
رُبَّ رَمْيَةٍ مِنْ غَيْرِ رَامٍ

Maksudnya, amtsal itu ialah menayamakan hal yang akan diceritakan dengan asal ceritanya. Contohnya (banyak panahan yang tidak ada pemanahnya), maksudnya banyak musibah yang terjadi dari org yang salah langkah atau banyak musibah yang terjadi tanpa sengaja.
b. Istilah Ulama ahli ilmu bayan mendefinisikan: al-amtsal, sebagai berikut:
Artinya: “Perumpamaan ialah bentuk majaz murakkab yang kaitannya ialah persamaan”.
Maksudnya, amtsal ialah ungkapan majaz/kiasan yang majemuk, di mana kaitan antara yang disamakan dengan asalnya adalah karena adanya persamaan. Contoh seperti ucapan yang ditujukan bagi orang yang ragu-argu mengerjakan suatu perbuatan dengan kata-kata:
Artinya: “saya lihat kamu maju mundur saja”.
c. Para ulama yang lain memberikan definisi matsal ialah mengungkapkan suatu makna abstrak yang dapat dipersonifikasikan dengan bentuk yang elok dan indah.
Maksdunya matsal itu ialah menyerupakan hal-hal yang abstrak disamakan dengan hal-hal yang konkret. Contohnya seperti: ilmu itu seperti cahaya, dalam perumpamaan ini, ilmu yang abstrak itu disamakan dengan cahaya yang konkret, yang bisa diindera oleh mata.
B. Rukun-rukun Amtaslil Qur’an
1. Rukun dan syarat-syarat matsal
Di dalam matsal seperti halnya di dalam tasybih haruslah terkumpul emapt unsur sebagai berikut:
a. Harus ada yang diserupakan (al-musayabah), yaitu sesuatu yang diceritakan
b. Harus ada asal cerita (al-musyabah bih) yaitu sesuatu yang dijadikan tempat menyamakan
c. Harus ada segi persamaannya (wajhul musyabah) yaitu arah persamaan antara kedua hal yang disamakan tersebut.
2. Para ahli Arab mensyaratkan sahnya amtsal harus memenuhi empat syarat, sebagai berikut:
a. Bentuk kalimatnya harus ringkas
b. Isi maknanya harus mengena dengan tepat
c. Perumpamaannya harus indah
d. Kinayahnya harus indah
C. Sejarah Amtaslil Qur’an
Orang yang pertama kali mengarang ilmu Amtaslil Qur’an ialah Syekh Abdur Rahman Muhammad bin Husain An-Naisaburi dan dilanjutkan oleh Imam Abdul Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi. Kemudian dilanjutkan Imam Syamsudin Muhammad bin Abi Bashrin Ibnul Qayyim al-Jauziyah.
Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam bukuya al-Itqan juga menyediakan satu bab khusus yang membicarakan ilmu Amtaslil Qur’an dengan 5 pasal di dalamnya.
D. Macam-macam Amtaslil Qur’an
Amtaslil Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:
1. Amtsal al-Musharahah, ialah yang di dalamya dijelaskan dengan matsl atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amtsal seperti ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an dan berikut ini beberapa di antaranya:
a. Firman Allah SWT mengenai orang munafik
Perumpamaan (matsal) mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat” sampai dengan sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu (Al-Baqarah 17-20).
Di dalam ayat ini Allah SWT membuat dua perumpamaan (matsal) bagi orang munafik, matsal yang berkenaan dengan api (nar) dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang menyalakan api” karena di dalam api terdapat unsur cahaya, dan matsal yang berkenaan dengan air (ma’) “atau seperti orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit”, karena di dalam air terdapat materi kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk memerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang yang munafik dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan, mereka memperoleh kemanfaatan dengan sebab masuk Islam. Namun di sisi lain Islam tidak tidak memberikan pengaruh nur-nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan unsur (membakar) yang ada padanya. Inilh perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Mengenai matsal mereka dan berkenaan dengan air (ma’) Allah menyerupakan keadaan mereka dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap, gulita, guruh, dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari-jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir akan menimpanya. Ini mengingat bahwa Al-Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan, dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang sambar-menyambar.
b. Allah menyebutkan pula dua macam matsal, ma’i dan nari dalam surat al-Ra’d, bagi yang hak dan yang batil:
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti aru itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan bagi yang benar dan yag batil. Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi, demikianlah Allah membuat perumpamaan (Ar-Ra’d).
Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya untuk kehidupan bumi dengan tumbu-tumbuhan, dan hati diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir di lembah. Arus air yang mengalir di lembah, membawa buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah matsal ma’I dalam firman-Nya “Dia telah menurunkan air (hujan) dari langit”. Demikianlah Allah membuat matsal bagi yang hak dan yang batil.
Mengenai matsal nari dikemukakan dalam firman-Nya, “dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api”, logam, baik emas, perak, tembaga maupun besi, ketika dituangkan ke dalam api, maka akan menghilangkan kotoran, karat, yang melekat padanya dan memisahkannya dari substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air meghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
2. Amtsal kaminah, yaitu yang ada di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafal-lafal tamtsil (pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannay. Untuk matsal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, diantaranya:
Diantaranya ayat yang senada dengan perkataan:
خَيْرُالْاُمُوْرِ الْوَسَطُ

Sebaik-baik urusan ialah yang seimbang
Ialah firman Allah :
لَا فَارِضٌ وَ لَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ
Sapi betina yang tidak tua, tidak muda, pertengahan antara itu (QS Al-Baqarah: 68)
لَيْسَ الخْبَرَ ُكَالْمُعَايَنَةِ

Dan yang senada dengan perkataan:
Berita itu tidak sama dengan kenyataan
Ialah firman Allah:
قَالَ اَوَ لمَ ْتُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَ لَكِنْ ليَِّطْمَئِنَّ قَلْبِىْ
Dan apakah engkau belum beriman (percaya)? Ibrahim menjawab: saya percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya (QS.Al-Baqarah: 260)
3. Amtsal Mursalah
Ialah kalimat-kalimat yang disebut secara terlepas tanpa ditegaskan lafal tasybih tetapi dapat dipergunakan untuk tasybih, diantaranya, ialah:
اَلْاَنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ ………. (يوسف:51)
“Sekarang ini, jelaslah kebenaran itu………
Yang lainnya adalah: An-Najm: 58, QS Yusuf :51 dan lain-lain.
E. Faedah-faedah amtsal
a. Melahirkan sesuatu yang dapat dipahami dengan akal dalam bentuk rupa yang dapat dirasakan oleh panca inedra, lalu mudah diterima oleh akal, lantaran makna-makna yang dapat dipahamkan dengan akal tidaklah tetap dalam ingatan, terkecuali apabila dituang dalam bentuk yang dapat dirasakan yang dekat kepada paham
b. Mengungkap hakikat-hakikat yang mengemukakan suatu yang jauh dari pikiran seperti mengemukakan sesuatu yang dekat pada pikiran.
c. Mengumpulkan makna yang indah dalam suatu ibarat yang pendek
d. Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai dengan isi matsal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuat matsal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah,dimana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak. Allah berfirman:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menfkahkan harta mereka di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butirnya seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Ia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui (al-Baqarah:261)
e. Menjauhkan (tanfir) jika isi matsal berupa sesuatu yang dibenci jiwa, misalnya firman Allah tentang larangan bergunjing:
“Dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya (al-Hujurat:12)
f. Untuk memuji orang yang diberi matsal
g. Untuk menggambarkan waktu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak.
h. Amtsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberika nsaihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati. Allah banyak menyebut amtsal di dalam Al-Qur’an untuk peringatan dan pelajaran. Ia berfirman:
F. Tujuan dibuatnya perumpamaan
Diantara tujuan dibuatnya perumpamaan atau tamtsil dalam Al-Qur’an adalah agar manusia mau melakukan kajian terhadap kandungan Al-Qur’an, bisa memahami makna yang tersirat maupun yang tersurat di dalam tamtsil Al-Qur’an, hanyalah orang-orang yang berilmu dan orang yang mau menggunakan halalnya, seperti disebutkan oleh Allah dalam surat al-Ankabut:
وَ تِلْكَ الْْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا وَ مَا يَعْقِلُهَا اِلَّا الْعَالِمُوْنَ
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini hanya dibuatkan untuk manusia, tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”
Yang dimaksudkan dengan “memahami” pada ayat di atas adalah mengetahui tentang faedah dan pelajaran yang bisa diambil dari tamtsil yang disajikan oleh Al-Qur’an tersebut, dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berilmu.
Demikian di antara tujuan dibuatnya ayat-ayat tamtsil dalam Al-Qur’an. Semoga kita bisa menyingkap misteri yang terkandung di dalamnya.