Jumat, 09 Desember 2011

Makalah Fiqih


MAKALAH
HIBAH, SADAQAH DAN HADIAH DALAM PANDANGAN ISLAM
Di susun untuk memenuhi tugas matakuliah Fiqih
dosenpengampu Hj. Atiqotul ulfa, S.Pd.I









FAKULTAS AGAMA ISLAM PROGDI MU’AMALAT
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2011


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya Kami dapat  menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah FIQIH yang berjudul HIBAH HADIAH DAN SADAQAH DALAM PANDANGAN ISLAM “ .
 Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik  dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah FIQIH.
 Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada umumnya .




                                                                                                Penulis,







BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah

             Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta melalui Nabi Muhammad SAW. Semasa hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh seperti zakat, pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan karena bagian dari rukun Islam, demikian pula sadaqah karena Islam menganjurkan untuk bersadaqah dengan tujuan menolong saudara muslim yang sedang kesusahan dan untuk mendapat ridho Allah SWT.
           Sadaqah bisa berupa uang, makanan, pakaian dan benda-benda lain yang bermanfaat. Dalam pengertian luas, sadaqah bisa berbentuk sumbangan pemikiran, pengorbanan tenaga dan jasa lainnya bahkan senyuman.
           Beberapa hal diatas adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama Islam seperti pemberian hadiah, hibah dan sadaqah. Maka pada makalah yang singkat ini penulis akan sedikit menguraikan hal tersebut seberapa penting dalam dunia pendidikan Islam.

B.      RUMUSAN MASALAH

1.      Apakah pengertian hibah?
2.      Apakah hukum dan rukun hibah?
3.      Apakah pengertian sadaqah?
4.      Apakah hukum dan rukun sadaqah?
5.      Apakah pengertian hadiah?
6.      Apakah hukum dan rukun hadiah?
7.      Apakah hikmah dari hibah dan hadiah?



BAB II

PEMBAHASAN

A.   HIBAH

1.    Pengertian
Menurut bahasa hibah artinya pemberian. Sedangkan menurut istilah Hibah ialah pemberian  sesuatu kepada seseorang secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan apa-apa. Hibah dapat disebut juga hadiah.

2.    Hukum Hibah
Hukum hibah adalah mubah (boleh), sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :
Artinya : "Dari Khalid bin Adi sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda "siapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-Iebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karena sesungguhnya yang demikian itu merupakan rizki yang diberikan oleh Allah kepadanya". (HR. Ahmad)

3. Rukun hibah
Rukun hibah ada empat, yaitu :
a. Pemberi hibah
b. Penerima hibah
c. Barang yang dihibahkan
d. Penyerahan
Berikut adalah ketentuan-ketentuan hibah antara lain :
1.      Hibah dapat dianggap syah apabila pemberian itu sudah mengalami proses serah terima. Jika hibah itu baru diucapkan dan belum terjadi serah terima maka yang demikian itu belum termasuk hibah.
2.      Jika barang yang dihibahkan itu telah diterima maka yang menghibahkan tidak boleh meminta kembali kecuali orang yang memberi itu orang tuanya sendiri (Ayah/Ibu) kepada anaknya.

Adapun syarat-syarat bagi penghibah di syaratkan sebagai berikut :
1)      Penghibah memiliki apa yang dihibahkan.
2)      Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
3)      Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuanya.
4)      Penghibah itu tidak dipaksa, sebab itu akad yang mempersyaratkan
5)      keridhaan dalam keabsahanya.

4.  Syarat-Syarat Barang Yang Dihibah
Disyaratkan barang yang akan dihibahkan sebagai berikut.
1)      Harus ada diwaktu hibah.
2)      Harus berupa harta yang bermanfaat.
3)      Milik sendiri.
4)      Barang yang dihibahkan telah diterima oleh penerima.
5)      Penerima menerima hibah atas izin pemberi hibah.

B. SHADAQAH
1.    Pengertian
Shadaqah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang yang membutuhkan, dengan mengharap ridha Allah SWT semata. Dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut sedekah.
2.    Hukun shadaqah
Hukum shadaqah ialah sunnat, hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT, sebagai berikut :



ø-£‰|Ás?ur !$uZøŠn=tã ( ¨bÎ) ©!$# “Ì“øgs† šúüÏ%Ïd‰|ÁtFßJø9$# ÇÑÑÈ  
Artinya : "Dan bersedekahlah kepada Kami, sesungguhnya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang bersedekah"
( Q.S. Yusuf : 88)

Allah SWT juga berfirman sebagai berikut :


4 $tBur šcqà)ÏÿZè? žwÎ) uä!$tóÏFö/$# Ïmô_ur «!$# 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9Žöyz ¤$uqムöNà6ö‹s9Î) ÷LäêRr&ur Ÿw šcqãKn=ôàè? ÇËÐËÈ  
Artinya : “Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).”  ( Q.S. Al Baqarah : 272)


Sadaqah merupakan salah satu amal shaleh yang tidak akan terputus pahalanya, seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya : "Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendo'akan kedua orang tuanya". (HR. Muslim)

Pemberian shadaqah kepada perorangan lebih utama kepada orang yang terdekat dahulu, yakni sanak famili dan keluarga, anak-anak yatim tetangga terdekat, teman sejawat, dan seterusnya.



3.    Rukun shadaqah
Rukun shadaqah dan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut :
a)      Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk  mentasharrufkan ( memperedarkannya )
b)      Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak syah memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi kepada binatang, karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu.
c)      Ijab dan qabul, ijab ialah pernyataan pemberian dari orang yang memberi sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima pemberian.
d)      Barang yang diberikan, syaratnya barang yang dapat dijual.

     Perbedaan shadaqah dan infak, bahwa shadaqah lebih bersifat umum dan luas, sedangkan infak adalah pemberian yang dikeluarkan pada waktu menerima rizki atau karunia Allah SWT. Namun keduanya memiliki kesamaan, yakni tidak menentukan kadar, jenis, maupun jumlah, dan diberikan dengan mengharap ridha Allah SWT semata.
     Karena istilah shadaqah dan infak sedikit sekali perbedaannya, maka umat Islam lebih cenderung menganggapnya sama, sehingga biasanya ditulis infaq shadaqah. Bershadaqah haruslah dengan niat yang ikhlas, jangan ada niat ingin dipuji (riya) atau dianggap dermawan, dan jangan menyebut-nyebut shadaqah yang sudah dikeluarkan, apalagi menyakiti hati si penerima Sebab yang demikian itu dapat menghapuskan pahala shadaqah.

Allah SWT berfirman dalam
surat AI Baqarah ayat 264 :

$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y‰|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3“sŒF{$#ur “É‹©9$%x. ß,ÏÿYム¼ã&s!$tB uä!$sÍ‘ Ĩ$¨Z9$# (

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan  (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan di penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia ..." (QS. AI Baqarah : 264)

C. HADIAH
1.    Pengertian
Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk memuliakan atau memberikan penghargaan. Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama. Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : "Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi " .(HR. Abu Ya'la)

2.    Hukum hadiah
Hukum hadiah adalah boleh (mubah). Nabi SAW sendiripun juga sering menerima dan memberi hadiah kepada sesama muslim, sebagaimana sabdanya:
Artinya: "Rasulullah SAW. menerima hadiah dan beliau selalu membalasnya". (HR. AI Bazzar)
3.    Rukun hadiah
Rukun hadiah dan rukun hibah sebenarnya sama dengan rukun shadaqah, yaitu :
a.      Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan    yang berhak mentasyarrufkannya.
b.      Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki.
c.       Ijab dan qabul.
d.      Barang yang diberikan, syaratnya barangnya dapat dijual.

Hikmah dan Manfaat Sadaqah, Hibah dan Hadiah
a.        Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT. yang diwujudkan dengan memberi sebagian harta kepada orang lain.
b.        Dapat menciptakan rasa kasih sayang, kekeluargaan dan persaudaraan yang lebih intim antara pemberi dan penerima.
c.         Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah.













BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian diatas , kami sebagai penulis dapat menarik kesimpulan bahwa sadaqah hukumnya sunah dengan catatan pemberian sadaqah itu ikhlas karena ingin mendapat ridho Allah SWT, bukan dengan niat ingin dipuji orang lain sedangkan hibah dan hadiah hukumnya boleh dengan maksud agar terciptanya kasih sayang antar sesama manusia terutama bagi pemberi dan penerima hadiah. Ada beberapa Hikmah yang dapat kita ambil dari Sadaqah, Hibah dan Hadiah yaitu Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang diwujudkan dengan memberi sebagian harta kepada orang lain, berusaha ikhlas dalam setiap amal ibadah tanpa mengharap balasan dan dapat menciptakan rasa kasih sayang, kekeluargaan dan persaudaraan yang lebih intim antara pemberi dan penerima. Sadaqah dan Infak sedikit berlainan namun ada perbedaannya yaitu bahwa shadaqah lebih bersifat umum dan luas sedangkan infak adalah pemberian yang dikeluarkan pada waktu menerima rizki atau karunia Allah SWT. Namun keduanya memiliki kesamaan yakni tidak menentukan kadar, jenis, maupun jumlah dan diberikan dengan mengharap ridha Allah SWT semata. Karena istilah sadaqah dan infak sedikit sekali perbedaannya maka umat Islam lebih cenderung menganggapnya sama.





DAFTAR PUSTAKA
An Nabhani, Taqiyyudin. An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam. Darul Ummah. Beirut cetakan IV, 1990
An Nabhani, Taqiyyudin. Muqaddimah Dustur. tp. t-tp. 1963
An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII. Darul Fikr. Beirut. 1982
Az Zaibari, Amir Sa’id. Kiat Menjadi Pakar Fiqih. Gema Risalah Press. Bandung. 1998
Az Zuhaili, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996
Ibnu Katsir. Tafsir al Qur`an Al Azhim Juz II. Darul Ma’rifah. Beirut. Cetakan III. 1989
Ulwan, Abdullah Nasih. Hukum Zakat Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
Usman, Muhlish. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. RajaGrafindo Perkasa. Jakarta. cetakan I. 1996
Yunus, Mahmud. Al Fiqhul Wadhih Juz II. Maktabah As Sa’diyah Putra. Padang. 1936
Zallum, Abdul Qadim. Al Amwal fi Daulatil Khilafah. Darul Ilmi lil Malayin. Beirut. cetakan I, 1983

Makalah Aswaja


KATA PENGANTAR



Alhamdullilah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmatnya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah ASWAJA yang berjudul “ Sejarah Pertumbuhan ahlussunnah wal jama’ah.
            Dalam penyelesaian  makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini dan tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Aswaja.
           Sebagi bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima menjadi amal saleh dan diterima Allah SWT. Semoga maklah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya .






                                                                        Penulis,





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................ 1
DAFTAR ISI ............................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 3
A.      Latar belakang masalah...................................................... 3
B.      Rumusan masalah .............................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 5
A.      Pengertian Ahlussunah Wajama’ah.................................... 5
B.      Sejarah pertumbuhan Ahlussunah Waljama’ah.................. 6
C.      Kyai Hasyim Asy’ari dan NU................................................ 8
BAB III PENUTUP................................................................................. 11
            KESIMPULAN ........................................................................... 11
            DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 12













BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang Masalah
Islam masuk ke Indonesia sejak zaman Khulafaur Rasyidin tepatnya pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Penyebaran Islam di Indonesia masuk melalui dua jalur utama yaitu Jalur Selatan yang bermadzhab Syafi’i (Arab, Yaman, India, Pakistan, Bangladesh, Malaka, Indonesia) dan Jalur Utara (Jalur Sutara) yang bermadzhab Hanafi (Turki, persia, Kazakhstan, Uzbekistan, Afganistan, Cina, Malaka, Indonesia). Penyebaran Islam semakin berhasil, khususnya di Pulau Jawa sejak abad ke-13 oleh Wali Sanga. Dari murid – murid Wali Sanga inilah kemudian secara turun – temurun menghasilkan Ulama – ulama besar di wilayah Nusantara seperti Syaikhuna Khoil Bangkalan (Madura), Syaikh Arsyad Al Banjari (Banjar, Kalimantan, Syaikh Yusuf Sulawesi, dan lain – lain.
Telaah terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian keislaman –merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Pemaksaan suatu aliran tertentu yang pernah berkembang di era tertentu untuk kita yakini, sama halnya dengan aliran teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu. Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah); yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan beraktivitas (hurriyah al-harokah).
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?

B.      Rumusan Masalah
1.      Pengertian Ahlussunah waljama’ah ( aswaja)
2.      Sejarah Pertumbuhan ahlussunah waljama’ah
3.      Kyai Hasyim Asy’ari dan NU














BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Ahlussunah waljama’ah
1.        pengertian ahlussunah waljama’ah secara bahasa
Ahlun : keluarga, golongan atau pengikut.
Ahlussunnah : orang – orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.)
Wal Jama’ah : Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengukut sunnah Rasul.
Dengan demikian secara bahasa /aswaja berarti orang – orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.
2. Secara Istilah
Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.
Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamā’ah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali [1]
Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas bukanlah soal yang penting untuk menilai pokok faham keagamaan NU. Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar hanyalah aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu terdapat warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti pokok kehidupan keagamaan NU.

Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa al-Jama'ah merupakan sistem nilai yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku di NU. Oleh karena itu, paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) tidak hanya dijadikan landasan dalam kehidupan keagamaan NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial politik. Dalam hal ini, ada empat prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan kemasyarakatan bagi NU  yaitu :

1.       Tawasuth
2.       Tasamuh
3.       Tawazun
4.       Amar ma’ruf nahi munkar [2]
B. sejarah petumbuhan ahlussunah waljama’ah
Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja ( ahlussunah waljama’ah) mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi / Jam‘iyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok Nahdlatul ‘Ulama.
‘Ulama secara lughowi (etimologis / kebahasaan) berarti orang yang pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi pernah bersabda yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup banyak.”.
Sejak berdirinya tahun 1926, NU telah memproklamirkan dirinya sebagai penganut setia paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) dengan mempertahankan, melestarikan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya secara eksplisit,  tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah wa al-Jama’ah dan melindunginya dari penyimpangan kaum pembaharu dan modernis. Pernyataan ini terlihat dari Anggaran Dasar NU sebagai berikut :

”Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe : Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja Imam Empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah an Noe’man atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan agama Islam.”[3]
Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai” yang berarti orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh gelar “Ulama” atau “Kyai”, maka ada 3 kriteria yaitu :
  • Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan kepada Allah SWT.
  • Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW, meliputi : ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya.
  • Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari – hari seperti : tekun beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan kepentingan umat & mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT.
C. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU
Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”
Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924). Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam.
Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah (cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.











BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan Al-Basri (110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam Al-Syafi’i (205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama.  para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.

DAFTAR PUSTAKA

Ainul, Yaqin, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan) Sidogiri.com
Azyumardi, Azra, jaringan ulama. 1994, Bandung ; Mizan.
Badri, Yatim, sejarah peradaban islam, 2001, Jakarta: Raja Grafindo Jaya.
Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos, Jakarta :  1999,
Ali Khaidar, ONahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, Jakarta : Gramedia, 1995, 
KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran dan Anti Ekstrim (ed), dalam Imam Baehaqi (ed) , Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta, 1999,


[1] Ali Khaidar, ONahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, Jakarta : Gramedia, 1995,  hal. 69-70.
[2] Hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Semarang, Sumber Barokah, 1986,hal. 102, seperti dikutip oleh M. Masyhur Amin, NU & Ijtihad Politik Kenegaraan, Al amin Press, Yogyakarta : 1996,  hal. 86-88.
[3] Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel ‘Oelama, diterbitkan sebagai suplemen Javasche Coerant 25 Pebruari 1930 dan dimuat kembali sebagai lampiran dalam Anam 1985. Lihat Martin Van Bruinnessen, Op. Cit,  hal. 42.